Selasa, 28 April 2015

Budiday Udang Vaname

A. Biologi Umum Udang Vaname
Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu jenis udang yang memiliki pertumbuhan cepat dan nafsu makan tinggi, namun ukuran yang dicapai pada saat dewasa lebih kecil dibandingkan udang windu (Paneus monodon), habitat aslinya adalah di perairan Amerika, tetapi spesies ini hidup dan tumbuh dengan baik di Indonesia. Di pilihnya udang Vannamei ini di sebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) sangat diminati dipasar Amerika, (2) lebih tahan terhadap penyakit dibanding udang putih lainnya, (3) pertumbuhan lebih cepat dalam budidaya, (4) mempunyai toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan (Ditjenkan, 2006).
Udang Vannamei termasuk genus paneus, namun yang membedakan dengan genus paneus lain adalah mempunyai sub genus litopenaeus yang dicirikan oleh bentuk thelicum terbuka tetapi tidak ada tempat untuk penyimpanan sperma (Ditjenkan, 2006). Ada dua spesies yang termasuk sub genus Litopenaeus yakni Litopenaeus vannamei dan Litopenaeus stylirostris (wiban dan sweeney, 1991).
 
gambar morfologi udang vaname

1. Taksonomi dan Anatomi
Menurut Wiban dan Sweeney (1991), taksonomi udang Vannamei sebagai berikut:
Phylum = Arthropoda
Class = Crutacea
Sub class = Malacostraca
Series = Eumalacostraca
Super ordo = Eucarida
Ordo = Decapoda
Sub ordo = Dendrobrachiata
Infra ordo = Penaeidea
Super famili = Penaeioidea
Famili = Pemaeidae
Genus = Pneaeus
Sub genus = Litopenaeus
Species = Vannamei
Udang Vannamei termasuk crustacea, ordo decapoda seperti halnya udang lainnya, lobster dan kepiting. Dengan kata lain decapoda dicirikan mempunyai 10 kaki, carapace berkembang baik menutup seluruh kepala. Udang paneid berbeda dengan decapoda lainnya. Dimana perkembangan larva dimulai dari stadia nauplis dan betina menyimpan telur didalan tubuhnya (Ditjenkan, 2006).
Udang vaname termasuk genus penaeus dicirikan oleh adanya gigi pada rostrum bagian atas dan bawah, mempunyai dua gigi dibagian ventral dari rostrum dan gigi 8-9 di bagian dorsal serta mempunyai antena panjang (Elovaara, 2001).
2. Morfologi
Udang putih vaname sama halnya seperti udang penaid lainnya, binatang air yang ruas-ruas dimana pada tiap ruasnya terdapat sepasang anggota badan. Anggota ini pada umumnya bercabang dua atau biramus. Tubuh udang secara morfologis dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu cepalothorax atau bagian kepala dan dada serta bagian abdomen atau perut. Bagian cephalothorax terlindungi oleh kulit chitin yang tebal yang disebut carapace. Secara anatomi cephalotorax dan abdomen, terdiri dari segmen-segmen atau ruas-ruas. Masing-masing segmen memiliki anggota badan yang mempunyai fungsi sendiri-sendiri (Elovaara, 2001).
Kulit chitin pada udang penaidae akan mengelupas (ganti kulit) setiap kali tubuhnya akan membesar, setelah itu kulitnya mengeras kembali (Martosudarmo dan Ranumiharjo, 1980; Tricahyo, 1995; Suyanto dan Mujiman,1990).
Menurut Martosudarmo et al., (1983), tubuh udang penaeid terdiri dari tiga bagian yaitu:
a. Kepala
Kepala terdiri dari enam ruas, pada ruas kepala pertama terdapat mata majemuk yang bertangkai, beberapa ahli berpendapat bahwa mata bertangkai ini bukan suatu anggota badan seperti pada ruas-ruas yang lain, sehingga ruas kepala dianggap berjumlah lima buah. Pada ruas kedua terdapat antena I atau antenules yang mempunyai dua buah flagella pendek yang berfungsi sebagai alat peraba dan pencium. Ruas ketiga yaitu antena II atau antennae mempunyai dua buah cabang yaitu cabang pertama (exopodite) yang berbentuk pipih dan tidak beruas dinamakan prosertama. Sedangkan yang lain (Endopodite) berupa cambuk yang panjang yang berfungsi sebagai alat perasa dan peraba. Tiga ruas terakhir dari bagian kepala mempunyai anggota badan yang berfungsi sebagai pembantu yaitu sepasang mandibula yang bertugas menghancurkan makanan yang keras dan dua pasang maxilla yang berfungsi sebagai pembawa makanan ke mandibula. Ketiga pasang anggota badan ini letaknya berdekatan satu dengan lainnya sehingga terjadi kerjasama yang harmonis antara ketiganya.
b. Dada
Bagian dada terdiri dari delapan ruas yang masing-masing ruas mempunyai sepasang anggota badan yang disebut Thoracopoda. Thoracopoda pertama sampai dengan ketiga dinamakan maxilliped yang berfungsi sebagai pelengkap bagian mulut dalam memegang makanan. Thoracopoda lainnya (ke-5 s/d ke-8) berfungsi sebagai kaki jalan yang disebut pereipoda. Pereipoda pertama sampai dengan ketiga memiliki capit kecil yang merupakan ciri khas dari jenis udang penaeid.
c. Perut
Bagian perut atau abdomen terdiri dari enam ruas. Ruas yang pertama sampai dengan ruas kelima masing-masing memiliki sepasang anggota badan yang dinamakan pleopoda. Pleopoda berfungsi sebagai alat untuk berenang oleh karena itu bentuknya pendek dan kedua ujungnya pipih dan berbulu (setae) pada ruas yang keenam pleopoda berubah bentuk menjadi pipih dan melebar yang dinamakan uropoda, yang bersama-sama dengan telson berfungsi sebagai kemudi.
Warna dari udang Vannamei ini putih transparan dengan warna biru yang terdapat dekat dengan bagian telson dan uropoda (Lightner et al., 1996).
Alat kelamin udang jantan disebut petasma, yang terletak pada pangkal kaki renang pertama. Sedangkan alat kelamin udang betina disebut juga dengan thelicum terbuka yang terletak diantara pangkal kaki jalan ke empat dan ke lima (Tricahyo, 1995; Wyban dan Sweeney, 1991).
Pada stadia larva, udang putih mamiliki enam stadia naupli, tiga stadia zoea, dan tiga stadia mysis dalam daur hidupnya (Elovaara, 2001).
Setelah perkawinan induk betina mengeluarkan telur-telurnya (spawning), yang segera di buahi sperma tersebut, selesai terjadi pembuahan, induk betina segera ganti kulit (moulting). Pada pagi harinya dapat dilihat kulit-kulit dari betina yang selesai memijah. Jadi perkawinan pada udang open telikum terjadi setelah gonad matang telur. Telur-telur yang telah dibuahi akan terdapat pada bagian dasar atau melayamg-layang di air (Wyban dan Sweeney, 1991). Cara ini berbeda dengan udang windu yang merupakan close telikum, dimana perkawinan terjadi sebelum gonad udang betina berkembang atau matang.
3. Habitat dan Daur Hidup
Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis dan hidup pada permukaan dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang adalah dasar laut yang lumer (soft) yang biasanya campuran lumpur dan pasir. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa induk udang putih ditemukan diperairan lepas pantai dengan kedalaman berkisar antara 70-72 meter (235 kaki). Menyukai daerah yang dasar perairannya berlumpur. Sifat hidup dari udang putih adalah catadromous atau dua lingkungan, dimana udang dewasa akan memijah di laut terbuka. Setelah menetas, larva dan yuwana udang putih akan bermigrasi kedaerah pesisir pantai atau mangrove yang biasa disebut daerah estuarine tempat nurseri groundnya, dan setelah dewasa akan bermigrasi kembali ke laut untuk melakukan kegiatan pemijahan seperti pematangan gonad (maturasi) dan perkawinan (Wyban dan Sweeney, 1991). Hal ini sama seperti pola hidup udang penaeid lainnya, dimana mangrove merupakan tempat berlindung dan mencari makanan setelah dewasa akan kembali ke laut (Elovaara, 2001).
Pada udang putih, ciri-ciri telur yang telah matang adalah dimana telur akan terlihat berwarna coklat keemasan (Wyban dan Sweeney,1991).
Udang putih mempunyai carapace yang transparan, sehingga warna dari perkembangan ovarinya jelas terlihat. Pada udang betina, gonad pada awal perkembangannya berwarna keputih-putihan, berubah menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan pada saat hari pemijahan (Lightner et al., 1996).
Telur jenis udang ini tergantung dari ukuran individu, untuk udang dengan berat 30 gram sampai dengan 45 gram telur yang di hasilkan 100.000 sampai 250.000 butir telur. Telur yang mempunyai diameter 0,22 mm, cleaveage pada tingkat nauplis terjadi kira-kira 14 jam setelah proses bertelur (Anonymous, 1979).
Menurut Lim et al., (1989), perkembangan larva udang penaeid terdiri dari beberapa stadia yaitu:
a. Stadia nauplius
Nauplius bersifat planktonik dan phototaxis positif. Dalam stadia ini masih memiliki kuning telur sehingga belum memerlukan makanan. Perkembangan stadia nauplius terdiri dari enam sub stadium. Nauplius memiliki 3 pasang organ tubuh yaitu antena pertama, antena kedua dan mandible. Antena pertama uniramous, sedangkan 2 alat lainnya biramous.
b. Stadia Zoea
Perubahan bentuk dari nauplius menjadi zoea memerlukan waktu kira-kira 40 jam setelah penetasan. Pada stadia ini larva dengan cepat bertambah besar. Tambahan makanan yang diberikan sangat berperan dan mereka aktif memakan phytoplankton. Stadia akhir zoea juga memakan zooplankton. Zoea sangat sensitif terhadap cahaya yang kuat dan ada juga yang lemah diantara tingkat stadia zoea tersebut.
Zoea terdiri dari tiga substadia secara kasar tubuhnya di bagi kedalam tiga bagian, yaitu carapace, thorax dan abdomen. Tiga substadia tersebut dapat dibedakan berdasarkan segmentasi abdomen dan perkembangan dari lateral dan dorsal pada setiap segmen.
c. Stadia mysis
Larva mencapai stadia mysis pada hari ke lima setelah penetasan. Larva pada stadia ini kelihatan lebih dewasa dari dua stadia sebelumnya. Stadia mysis lebih kuat dari stadia zoea dan dapat bertahan dalam penanganan. Stadia mysis memakan phytoplankton dan zooplankton, akan tetapi lebih menyukai zooplankton menjelang stadia mysis akhir (M3). Mysis memilki tiga sub stadia dimana satu dengan lainnya dapat dibedakan dari perkembangan bagian dada dan kaki renang.
d. Stadia post larva
Perubahan bentuk dari mysis menjadi post larva terjadi pada hari kesembilan. Stadia post larva mirip dengan udang dewasa, dimana lebih kuat dan lebih dapat bertahan dalam penanganan. Kaki renang pada stadia post larva bertambah menjadi tiga segmen yang lebih lengkung. Post larva bersifat planktonik, dimana mulai mencari jasad hidup sebagai makanan.
4. Pakan dan Kebiasaan Makanan
Makanan udang penaeid terdiri dari crustacea dan molusca yang terdapat 85 % didalam pencernaan makanan dan 15 % terdiri dari invertebrata benthis kecil, mikroorganisme penyusun detritus, udang putih demikian juga di alam merupakan omnivora dan scavenger (pemakan bangkai). Makanannya biasanya berupa crustacea kecil, amphipouda dan plychacetes atau cacing laut (Wyban dan Sweeney, 1991). Lebih lanjut dikatakan dalam pemeliharaan induk udang putih, pemberian pakan udang putih 16 % dari berat total adalah cumi, 9 % cacing dengan pemberian pakan empat kali perhari.
Udang mempunyai pergerakan yang hanya terbatas dalam mencari makanan dan mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri terhadap makanan yang tersedia lingkungannya. Di alam larva udang biasanya memakan zooplankton yang terdiri dari trochophora, balanos, veliger, copepoda, dan larva polychaeta (Tricahyo, 1995).
Udang putih termasuk golongan udang penaeid. Maka sifatnya antara lain bersifat nocturnal artinya aktif mencari makan pada malam hari atau apabila intensitas cahaya berkurang. Sedangkan pada siang hari yang cerah lebih banyak pasif, diam pada rumpon yang terdapat dalam air tambak atau membenamkan diri dalam Lumpur (Nurdjana et al., 1989).
B. Pembenihan Udang Vanamei
1. Persiapan bak
Persiapan bak walaupun kelihatannya sederhana namun memegang peranan penting dalam menentukan berhasil tidaknya usaha pemeliharaan induk. Sebelum dipergunakan bak dibersihkan dari segala bentuk kotoran yang mungkin berpengaruh terhadap kehidupan larva (Nurdjana et al.,1983).
Untuk mendukung kehidupan larva, bak pemeliharaan harus bersih dan bebas dari segala jenis organisme pathogen, bak dan sarana aerasi tersebut dicuci /disikat sampai bersih, kemudian dikeringkan 2-3 hari hingga benar-benar kering. Pengeringan ini dimaksudkan untuk mematikan organisme yang menempel pada media pemeliharaan serta mencegah timbulnya suatu penyakit (Ditjenkan, 1983)
Persiapan dilakukan secara kimiawi, terhadap bak larva dan sarana aerasi, dengan cara mengusap atau merendam sarana tersebut dengan bahan desinfektan, seperti chlorin 150 ppm. Perlakuan bahan ini dapat memantapkan kegiatan selanjutnya karena dengan merendam atau mengusap bahan kimia tersebut semua jenis bakteri dan organisme pathogen dapat mati. Mengingat chlorin, kaporit dan desinfektan lain dalam kosentrasi tertentu dapat meracuni udang, maka pengisian air kedalam bak pemeliharaan larva dilakukan 1-2 jam setelah bak tersebut dibilas. Bahan desinfektan lain yang dapat digunakan diantaranya adalah formalin 50 ppm, kalium permanganat 100 ppm (Wahyono et el., 1993)
Jumlah batu aerasi yang diperlukan dalam tiap meter persegi berkisar antara 10-12 buah atau setiap panjang dan lebar 40 cm ditempatkan satu buah aerasi. Kemudian dalam pemasangannya diusahakan bergantung pada jarak 5-10 cm dari dasar bak, sehingga sirkulasi oksigen tidak mengaduk endapan kotoran yang ada didasar (Sutaman, 1993)
2. Pengadaan dan seleksi calon induk
Ukuran calon induk betina yang baik untuk diablasi adalah lebih besar dari 40 gr dan untuk udang jantan diatas 35 gr. Udang putih betina yang ideal untuk dipergunakan dalam pembenihan adalah yang berukuran antara 40-50 gr (Wyban dan Sweeney, 1991).
Ukuran panjang tubuh udang putih betina yang termasuk kriteria produktif antara 20 cm hingga 25 cm (diukur mulai dari ujung telson hingga pangkal mat atau panjang standar). Sedangkan untuk pemilih calon induk udang putih jantan sebaiknya berukuran sedang, yang memiliki panjang tubuh antara 15 cm hingga 20 cm (Wyban dan Sweeney,1991).
Sebelum ditebar kantong pengangkutan induk dimasukkan kedalam bak yang telah di isi air dan di aerasi selama ± 30 menit, setelah itu suhu air kantong ataupun suhu air bak diperiksa. Apabila sudah tidak ada perbedaan suhu atau apabila perbedaannya hanya 1-2 0C, maka induk dapat dilepaskan dalam bak. Begitupun untuk salinitas, apabila perbedaan salinitas antara air dalam kantong dengan air dalam bak kurang dari 5 ppt maka induk sudah dapat ditebar (Suyanto, 1986)
3. Proses Pematangan Gonad Induk
Pematangan gonad pada induk betina adalah proses perkembangan telur (Oogenisis) didalam ovary. Udang Vannamei betina mempunyai sistem telikum terbuka. Seperti halnya udang penaeid lainnya, hormon pengontrol reproduksi atau X organ terletak di mata. Sehingga untuk mendorong berkembangnya ovary, hormon penghambat GIH yang terletak di X organ harus dihilangkan yaitu dengan cara ablasi mata. Dengan ablasi mata tersebut diharapkan release GSH segera terjadi, sehingga merangsang perkembangan ovary (Dikjenkan, 2006).
Induk udang putih akan mulai matang gonad sekitar 5-6 hari setelah proses pengablasian dilakukan, untuk mempercepat pematangan gonad ini biasanya induk udang diberi pakan segar lebih banyak (Lightner et al., 1996; Wyban dan Sweeney,1991).
Selanjutnya Murtidjo (2003), menyatakan bahwa cara yang paling praktis dan efektif serta menunjukan hasil yang baik adalah dengan melakukan pemotongan tangkai mata (ablai) dengan gunting.
4. Perkawinan Udang Putih
Pada udang putih, yang agak berbeda dari udang penaeus umumnya yaitu, pada betina telikumnya terbuka, dimana jantan hanya menempelkan sperma pada waktu pemijahan. Perkawinan terjadi pada saat kulit atau kerapasnya keras dan ketika telur sudah matang. Pemijahan terjadi setelah beberapa jam setelah perkawinan, biasanya kurang dari 3 jam (Elovaara, 2001).
Perkawinan udang vaname dilakukan diluar tubuh. Perkawinan pada udang vaname biasanya terjadi sebelum dan sesudah matahari terbenam, dan terjadi 3-16 detik. (Ditjenkan, 2006)
5. Pemijahan dan penetasan
Derajat pembuahan dan penetasan sangat ditentukan oleh kualitas sperma dan kemampuan penempelan pada telikum serta media penetasan (suhu dan salinitas). Beberapa kegagalan yang mungkin terjadi adalah tidak terjadinya pembuahan yang disebabkan induk betina belum matang telur atau rusaknya spermatofor (Djunaidah, 1986)
Induk yang telah dikawin, ditandai dengan adanya penempelan sperma pada telikum, dipindahkan kedalam bak spawning /pemijahan dengan kepadatan 4 ekor /m2. 1-2 jam kemudian induk akan melepaskan telurnya (Ditjenkan, 2006).
Telur akan menetas menjadi naupli dalam waktu 12-16 jam. Setelah pemijahan biasanya induk betina akan moulting. Telur udang putih akan menetas pada kisaran suhu 28-30 0C, satu induk udang putih menghasilkan 100-200 ribu telur (Wyban dan Sweeney,1991).
6. Penebaran nauplius
Telur yang telah menetas dan menjadi naupli kemudian dipindahkan kedalam bak larva. Naupli udang penaeid pada umumnya mengalami 6 kali metamorfhose dalam waktu 45-50 jam dan tumbuh menjadi zoea, selanjutnya berkembang menjadi mysis dan post larva (Nurdjana et al., 1983).
Penebaran nauplius dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu tinggi dengan cara aklimatisasi 30 menit atau sampai suhu didalam wadah dengan suhu diuar wadah sama (Ditjenkan, 2006).
Menurut (Wyban dan Sweeney,1991), pemindahan naupli sebaiknya dilakukan pada saat naupli sudah dianggap cukup kuat, hal ini tidak berbeda dengan larva udang windu.
7. Pengelolaan kualitas air
Pengelolaan kualitas air merupakan salah satu faktor penting dalam operasional pemeliharaan larva. Kualitas air pada bak pemeliharaan larva harus dipertahankan sebaik mungkin. Kualitas air ini meliputi aspek fisik, kimia dan biologi. Beberapa parameter yang dapat di amati langsung dengan mata dan peralatan yang sederhana yaitu salinitas, kekeruhan, blooming alga, dan warna air (Ditjenkan, 1998).
Selama masa pemeliharaan dimungkinkan untuk tidak dilakukan pergantian air, maka pengamatan kualitas air dan jumlah makanan yang ada pada bak pemeliharaan larva harus benar-benar mendapatkan perhatian khusus. Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari pada pagi, siang dan sore hari. Usaha-usaha yang dapat dilakukan selama proses ini antara lain sistem persiapan air yang steril, pengaturan ketinggian air, sirkulasi, pengelolaan pakan yang tepat jumlah, pengaturan aerasi, pengaturan salinitas, pengaturan temperatur dan jika terdapat sisa makanan maka dilakukan penyiponan secara hati-hati (Nurdjana et al., 1989).
8. Pengelolaan pakan
Agustin et al., (1999) mengatakan bahwa pakan di berikan enam kali dalam sehari dengan perincian empat kali kepiting, 1 kali cumi-cumi, dan 1 kali tiram atau udang krosok.
Jenis pakan yang diberikan pada larva udang vaname selama proses pemeliharaan ada dua jenis yaitu pakan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan pakan buatan (Ditjenkan, 2006).
Menurut Agustin et al., (1999), pakan buatan yang diberikan dapat berupa Nosan RI dan Too dengan frekuensi sebanyak 8 kali yaitu pada pukul 07.00, 11.00, 15.00, 19.00, 21.00, 23.00, 01.00 dan 05.00 WIB. Pemberian pakan buatan terlebih dahulu diencerkan dan disaring dengan saringan dengan mesh 250, 200, 150, dan 100 mikron.
Pemberian Chaetoceros dilakukan mulai dari stadia zoea 1 sampai dengan mysis 3. Sedangkan pada stadia naupli belum diberikan pakan, karena pada stadia ini larva udang putih vaname masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan. Pemanenan Chaetoceros dilakukan dengan menggunakan pompa celup dan dialirkan melalui pipa transper alga ke bak pemeliharaan larva (Ditjenkan, 2006).
Menurut Nurdjana et al., (1983) bila terlalu padat pada bak pemeliharaan larva dapat menyebabkan feses yang dikeluarkan pada stadia zoea panjang-panjang yang dapat menyulitkan pergerakan pada larva dan dapat menyebabkan kematian.
Pakan alami dari jenis zooplankton yang diberikan pada larva udang vannamei adalah Artemia dengan cara dilakukan pengkulturan selama 24 jam dalam wadah berupa galon aqua, baru kemudian dapat diberikan pada larva udang vannamei pada M3 – PL1, dengan kepadatan 3-4 individu /ml, pada PL 2-5 dengan kepadatan 8-10 individu /ml, dan PL 6-10 dengan kepadatan 11-13 individu /ml (Ditjenkan, 2006).
Menurut Elovaara (2001), menyatakan bahwa untuk peningkatan daya tetas cyste Artemia perlu dilakukan pendekapsulasian.
a. Biologi Chaetoceros.sp
Chaetoceros.sp merupakan salah satu diatome yang diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum = Bacillariophyta
Kelas = Bacillariophyceae
Ordo = Bacillareiles
Sub ordo = Biddulphineae
Famili = Chaetoceraceae
Genus = Chaetoceros
Species = Chaetoceros sp (Bougis, 1979).
Chaetoceros ada yang berbentuk bulat diameter 4-6 mikron dan berbentuk segi empat dengan ukuran 8-12 x 7-18 mikron. Dinding sel dibentuk dari silika. Reproduksi Chaetoceros dapat secara aseksual dan seksual. Silikat mempunyai peranan penting dalam proses reproduksi plankton sebagai bahan pembentuk cangkang baru. Kandungan gizi protein 35 % lemak 6,9 %, karbohidrat 6,6 %, dan kadar abu 28 % (Inansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Chaetoceros toleran terhadap suhu air yang tinggi. Pada suhu air 40 0C masih dapat hidup tetapi tidak bisa berkembang. Chaetoceros tumbuh hidup optimal pada kisaran suhu 25-30 0C
1) Pelaksanaan Kultur Chaetocero sp (Ditjenkan 2005).
a). Kultur Murni (carboy/toples)
Adapun cara kultur murni (carboy) dilakukan dengan cara:
· Media bersalinitas 31-32 ppt
· Pupuk mix grade PA
· Sterilisasi chlorinasi 10 ppm, dan thiosulfat ≤ 5 ppm
· Pertahankan pada suhu 25 0C, pada lampu TL 40 watt 2 buah
· Pemberian stater 1:7
· Suplay co2 aerasi dan inkubasi 5-7 hari
b). Kultur Semi Massal (intermediet)
Kultur skala semi massal dimulai dari volume 100/150 liter hingga 500 liter dan 1000 liter yang diletakkan di luar laboratorium (outdoor) (Ditjenkan 2005).
· Persiapan media: wadah yang digunakan untuk kultur dibersihkan dengan sabun setelah itu, dibilas dengan air tawar. Air laut bersalinitas 30-32 ppt disaring dengan filter bag dab dikaporit 5-10 ppm, diaerasi kuat dibiarkan kurang lebih 12-24 jam, tes chlor jika masih ada dan dinetralisir dengan natrium thiosulfat sebanyak ≤ 5 ppm.
· Pemupukan dengan pupuk semi massal
· Pembibitan: bibit yang digunakan berasal dari kultur skala laboratorium dengan kepadatan awal kultur kurang lebih 2 juta sel/ml.
· Pemanenan: setelah 5-6 hari dilakukan pemanenan dengan kepadatan mencapai 12-16 juta sel/ml untuk selanjutnya ditransfer ke kultur skala massal.
c). Kultur Massal
Langkah persiapan kultur yang perlu dilakukan adalah:
· Wadah dicuci bersih dan masukkan media air laut
· Sterilisasi air laut dengan diberi kaporit 5 ppm dilakukan pengadukan /pengudaraan selama 24 jam, clorin test digunakan untuk mengetahui kenetralan air
· Untuk bibit yang diperlukan 20% dari volume total, salinitas 28-30 ppt, suhu air 30 0c, ph 8, cahaya yang dibutuhkan 10.000 lux (outdoor)
· Pupuk yang digunakan yaitu 40-50 ppm KNO3, 20-25 ppm Na2HPO4, 10-15 ppm NA2SiO3, 1-5 ppm FeCl3 dan 1-5 ppm EDTA (tergantung kandungan zat organik terlarut di perairan tersebut.
· Pemanenan: dengan cara langsung bersamaan air media kulturnya dengan menggunakan pompa celup dan didistribusikan ke bak larva udang.
b. Biologi Artemia.sp
Artemia.sp adalah jenis udang–udangan tingkat rendah yang diklasifikasikan menurut Penak (1978) dan Dales (1981) dalam Cholik dan Daulay (1985)
Phylum = Arthopoda
Kelas = Crustacea
Ordo = Anostraca
Famili = Artemidae
Genus = Artemia
Spesies = Artemia.sp
Pada perairan bersalinitas tinggi, telur Artemia tidak menetas, tetapi lapisan luar telur bentuk cangkang atau korion yang kemiudian di sebut kista (Cyst). Kista dapat diartikan sebagai telur yang mengalami fase istirahat atau Cryptobiosis
Cangkang kista terbagi dalam 2 lapisan yaitu lapisan korion (bagian luar) dan lapisan kutikula embrionik (bagian dalam), kedua lapisan tersebut dipisahkan oleh selaput kutikula luar dengan ketebalan 0,5 mm yang tersusun 3 lapis selaput. Lapisan korion mempunyai tebal 6-8 mm berfungsi melindungiembrio dari kerusakan mekanis dimana molekul air dan ogsigen mampu menembus lapisan ini. Korion terdiri dua lapisan yaitu periferal di bagian luar dan lapisan alveolar terletak dibawah periferal berfungsi sebagai pengapung karena susunan selnya tidak teratur dan berongga. Lapisan kutikula embrionik mempunyai ketebalan 1,8 – 2,2 mm berfungsi melindungi embrio dan terdapat enzim penetasan, lapisan ini terdiri dua lapis yaitu fibrosa di bagian luar dan selaput kutikula dalam. kista bersifat higroskopis dan dapat menyerap uap dari udara, tenggelam dalam air tawar dan air laut namun terapung dalam larutan garam jenuh.
Penetasan cyste Artemia menggunakan tangki berbentuk corong (conicle tank). Penetasan Artemia dilakukan secara langsung dengan merendam cyste Artemia selama 15 menit ke dalam larutan chlorine 15 ppm untuk membunuh bakteri dan jamur, kemudian dibilas dengan air tawar sampai bau dan rasa larutan klorin hilang. Conicle tank diisi air laut dan beraerasi kuat, kemudian masukkan cyste Artemia dengan kepadatan 2-5 gram /liter. Salinitas yang digunakan 15-35 ppt, suhu 25-28 0C untuk menghasilkan efisiensi penetasan yang tinggi. Waktu yang dibutuhkan untuk menetas sekitar 24-36 jam.
9. Pengendalian penyakit
Dalam proses pemeliharaan larva, serangan penyakit merupakan kendala teknis utama. Penyebab timbulnya penyakit tidak selalu dapat diketahui. Timbulnya penyakit pada larva udang yang dipelihara biasanya sebagai akibat kondisi lingkungan yang tidak stabil, misalnya pada waktu musim penghujan dimana kondisi suhu dan salinitas labil serta sering berfluktuktuasi. Keadaan ini akan membuat larva menjadi lemah dan mudah terserang penyakit (Ditjenkan, 2001)
Pengendalian penyakit dilakukan dengan menggunakan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan. Fluktuasi udara yang cepat berubah mempengaruhi lingkungan pemeliharaan larva udang vannamei yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, terutama dari stadia naupli ke stadia zoea. Organisme patogen umumnya memilki siklus hidup yang pendek namun cepat berkembang (Ditjenkan, 2006).
Tindakan pencegahan dilakukan dengan cara penerapan biosecurity dan sanitasi peralatan yang dilakukan sebelum dan sesudah pemakaian peralatan. Pada pemeliharaan larva dilakukan juga pemberian obat-obatan yang aman seperti treflan, iodin atau EDTA setiap 3 kali sehari (Ditjenkan, 2006). Jenis organisme yang umumnya menyerang larva udang vannamei adalah dari golongan protozoa, virus, jamur, bakteri, dan cacing (Ditjenkan, 2006).
Menurut Sumarwan (2005), pengelolaan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan cara:
a. Persiapan bak, air dan bahan yang baik
b. Dilakukan dengan pengendalian kualitas yang baik
c. Pengobatan dengan menggunakan treflan dan antibiotik
Menurut Sutaman (1993), usaha pencegahan yang dilakukan sebaiknya mengurangi kemungkinan memburuknya lingkungan yang dapat menyebabkan stress pada larva, seperti kandungan oksigen rendah, perubahan suhu dan salinitas air yang terlalu mencolok, pH yang terlalu tinggi atau rendah, serta ammonia yang terlalu tinggi. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian pakan yang harus memperhatikan jumlah, mutu, maupun jenisnya sesuai dengan tingkat perkembangan larva. Selanjutnya Dia mengatakan usaha pengobatan dapat dengan memberikan obat-obatan yang tepat dan obat yang dianjurkan seperti dengan menggunakan treflan dan antibiotik.
10. Pemanenan
Naupli pada umumnya bersifat fototaksis positif, artinya naupli akan berkumpul karena tertarik oleh sinar (Suyanto, 1986). Sifat ini dimiliki juga oleh naupli udang putih. Sifat ini biasanya dipergunakan untuk teknik pemanenan naupli. Sinar elektrik diletakkan pada suatu tempat diluar dinding bak sehingga dapat menembus dinding bak dan merangsang naupli untuk mendekati sinar. Kemudian air tempat berkumpulnya naupli dapat dihisap dengan menggunakan selang plastik, sehingga naupli akan ikut terhisap dan masuk kedalam bak penampung yang telah disiapkan sebelumnya (Suyanto, 1986). Bak penampungan naupli tersebut selanjutnya diberi aerasi.
C. Pembesaran Udang Vanamei
1. Persiapan tambak
Persiapan tambak bekas yang perlu dilakukan yaitu pembersihan dan pengeringan tambak dengan bantuan sinar matahari. Sinar matahari berfungsi sebagai desinfektan, membantu proses oksidasi yang dapat menetralkan sifat keasaman tanah, menghilangkan gas-gas beracun dan membantu membunuh telur-telur hama yang tertinggal (Rubiyanto dan Dian, 2006)
Persiapan sarana tambak meliputi: a) penataan dan pemasangan pompa air; b) setting kincir air; c) pemasangan (perbaikan) PVC central drain /pintu monik dan saringan pembuangan air; d) pembuatan dan pemasangan jembatan untuk kontrol pemberian pakan dan kondisi udang; e) Pengisian air laut didalam tambak sampai kedalaman 130-150 cm bila lahan sudah siap; f) setting dan pemasangan sarana dan fasilitas lainnya (Ditjenkan, 2003)
Persiapan plankton segera tumbuh meliputi: 1) Menggunakan pupuk organik. Selain itu, bisa ditambahkan bahan probiotik (bakteri pengurai) yang mengandung Bacillus sp. karena secara tidak langsung bisa mempercepat proses pembentukan plankton; 2) Bila kondisi cuaca mendukung lingkungan tambak, plankton akan terbentuk dalam waktu 3-5 hari (Rubiyanto dan Dian, 2006)
2. Memilih dan penebaran benur
Menurut Rubiyanto dan Dian, (2006), tips memilih benur vaname yaitu:
- Benur vaname dipanen setelah mencapalai PL 10 atau organ insang telah sempurna
- Benur sehat dengan ciri-ciri tubuh transparan, bergerak aktif,
- Saat berenang di wadah, benur melaju melawan arus air
- Ukuran benur harus seragam (80 %)
- Benur dinyatakan lolos uji virus dan bebas patogen
Benih yang sudah terseleksi di angkut ke tambak dan kemudian sebelum dilepas terlebih dahulu diadaptasikan terhadap parameter kualitas air yaitu suhu, salinitas, pH, dan parameter kualitas air lainnya secara perlahan-lahan, lamanya adaptasi berkisar 5-15 menit. Waktu penebaran yang baik diusahakan pagi (jam 05-07.00 Wib). Padat penebaran yang optimal pada pembesaran udang dengan teknologi intensif pada sistem ini berkisar antara 25-50 ekor per m2 (tergantung faktor dukung lahan dan sarana penunjang lainnya) (Ditjenkan, 2003)
3. Pengelolaan pakan
Pakan yang umum diberikan berupa pakan buatan dengan jenis crumble dan pellet dan dapat diberikan jenis pakan tambahan lainnya (pakan segar). Pemberian pakan dimulai sejak udang ditebar ke tambak hingga pemanenan hasil. Pengaturan dan pemberian pakan disesuaikan berdasarkan hasil pengamatan dan sampling di lapangan. Selain pakan buatan yang di berikan, diberikan pula pakan segar berupa cumi segar dengan dosis 2-4 % (Ditjenkan, 2003)
Pemberian pakan berlebih bisa menimbulkan pencemaran air. Akibatnya, udang mudah stress sehingga pertumbuhan udang terhambat. Selain itu, daya tahan udang terhadap penyakit pun menurun sehingga angka mortalitasnya meningkat (Rubiyanto dan Dian, 2006)
Keberadaan plankton dalam air media pemeliharaan udang khususnya jenis phytoplankton yang menguntungkan dan sangatlah dibutuhkan, baik dari segi keanekaragamannya maupun kelimpahannya. Fungsi dan peran plankton pada air media pemeliharaan diantaranya yaitu: 1) Sebagai pakan alami untuk pertumbuhan awal udang yang dipelihara; 2) Sebagai penyangga (buffer) terhadap intensitas cahaya matahari; dan 3) Sebagai indikator kestabilan lingkungan air media pemeliharaan (Ditjenkan, 2003)
4. Pengelolaan kualitas air
Untuk mendapatkan parameter kualitas air yang optimal dan kondisi prima, maka selama masa pemeliharaan dilakukan penggantian volume air secara terprogram dengan memperhatikan kualitas air yang penting seperti suhu, O2, pH, nitrit, salinitas, dan gas-gas beracun lainnya (Ditjenkan, 2003)
Parameter-parameter tersebut akan mempengaruhi proses metabolisme tubuh udang, seperti keaktifan mencari pakan, proses pencernaan, dan pertumbuhan udang (Rubiyanto dan Dian, 2006)
5. Sampling
Pengamatan udang selama masa pemeliharaan merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan untuk mengetahui; 1) Kesehatan dan kondisi udang; 2) Pertambahan berat harian; 3) Tingkat kelangsungan hidup; dan 4) Biomasa. Pengamatan pertumbuhan umumnya dilakukan pengamatan pada anco dan penjalaan dengan cara mengambil beberapa contoh sampel udang (Ditjenkan, 2003)
6. Pengendalian hama dan penyakit
Penyakit dapat muncul dan menyerang udang vanamei. Beberapa jenis penyakit yang menyerang udang vaname disebabkan oleh predator, parasit, bakteri dan jamur serta virus.
Untuk meminimalkan infeksi hama dan penyakit pada udang vaname meliputi:1) menggunakan benih udang vaname yang berkualitas baik; 2) mendeteksi dan memonitoring kesehatan udang secara rutin dan teratur; 3) menjaga kualitas air agar tetap stabil sehingga udang tidak stres; 4) mengaplikasikan probiotik dan imunostimulan untuk meningkatkan imunitas udang terhadap serangan penyakit; 5) Terapkan prinsip-prinsip biosecuritas (Rubiyanto dan Dian, 2006)
7. Pemanenan
Pada umumnya pemanenan udang dilakukan setelah umur pemeliharaan > 100 hari, akan tetapi pelaksanaan panen dapat memperhatikan pertumbuhan serta harga udang di pasaran. Teknik panen yang sering dilakukan adalah dengan cara menurunkan volume air secara bertahap dengan gravitasi atau pompa air, bersamaan itu, dilakukan penangkapan udang secara bertahap pula dengan kemampuan peralatan yang tersedia dan akhirnya dilakukan penangkapan secara manual apabila kontruksi dasar tambak tidak tuntas keringnya. Pemanenan dilakukan malam hingga pagi hari atau diusahakan pada suhu rendah dengan tujuan untuk mengurangi resiko kerusakan mutu udang (Ditjenkan, 2003)
 
Daftar Pustaka
 
  • http://baguspitra.blogspot.com/p/budiday-udang-vaname.html
  • Google.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar